Makassar media Mitramabes.com ( OKI)
Ketidakadilan masih menyertai hidup Abd. Jalali Dg. Nai. Pada Senin pekan depan, 3 Februari 2025, ahli waris sah tanah Almarhum Tjoddo ini akan kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, dengan agenda tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Bapak enam anak yang kini berusia 69 tahun itu, didakwa JPU telah melakukan tindak pidana yang melanggar Pasal 167 Ayat (1) KUHP, dalam Perkara Nomor: 1493/Pd.B/2024/PN.Mks.
Pasal itu didakwakan kepada Dg. Nai, karena pada 25 Mei 2023 telah memblokir akses masuk ke lokasi usaha Indogrosir, yang terletak di Kilometer 18, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar. Aksi itu dilakukan lelaki pensiunan maskapai penerbangan ini, karena sesuai bukti surat yang dimilikinya, tanah yang kini dihuni Indogrosir Makassar itu sepenuhnya sah milik dirinya dan keluarganya.
Memiliki luas 6,45 hektar, tanah di Persil 6 D I itu, sejak 1910, berdasarkan Surat Tanda Pendaftaran Sementara Tanggal 24 September 1960, tercatat atas nama Tjoddo. Seiring meninggalnya Tjoddo pada 1955, kepemilikan tanah itu berpindah ke tangan ahli warisnya, Dg. Nai.
Namun, pada sekitar tahun 1990, seorang bernama Haji Andi Mattoreang, alias Karaeng Ramma, melakukan pengusiran paksa atas Dg. Nai dari tanah di Kilometer 18 itu.
Pengusiran paksa dilakukan dengan berbekal Surat Rintjik [Simana Boetaja] Nomor 157 Persil 6 D I Kohir 51 C I, atas nama Tjonra Karaeng Tola, ayahanda Karaeng Ramma. Surat ini merupakan hasil “kawin paksa” atas dua surat kepemilikan tanah, yakni Persil 6 D I di Kilometer 18 atas nama Tjoddo, dan Kohir 51 C I atas nama perempuan bernama Sia di Kilometer 17.
Pendudukan paksa atas tanah di Kilometer 18 itu dilakukan pula oleh tiga serangkai: Dr. Indrian Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali. Dengan menggunakan SHM 490/1984 Bulurokeng atas nama Annie Gretha Warow dari Kilometer 20, ketiganya membangun 128 unit rumah dalam sebuah kompleks perumahan di tanah Kilometer 18, milik ahli waris Almarhum Tjoddo.
Makam Almarhum Tjoddo di Makassar.
Seiring berjalannya waktu, berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen, Nomor Lab: 25/DTF/2001, disebutkan: Surat Rintjik Nomor 157 Persil 6 D I Kohir 51 C I atas nama Tjonra Karaeng Tola dinyatakan “tidak sesuai dengan jenis kertas dan tinta penerbitan surat rintjik tersebut”. Alias: non identik dengan jenis kertas dan tinta saat Surat Rintjik itu dibuat pada 1939.
Kondisi serupa juga dialami SHM 490/1984 Bulurokeng atas nama Annie Gretha Warow dari Kilometer 20. Berdasarkan Warkah Hasil Penyelidikan Polda Sulsel pada 26 Agustus 2022, sertifikat itu terbukti terletak di Kilometer 20.
Sebelumnya, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang Nomor 86/PDT/G.97/PN.UP, tanggal 9 Mei 1993, SHM 490/1984 atas nama Annie Gretha Warow di Kilometer 20 itu juga sudah resmi dibatalkan, karena terbukti digunakan di lokasi yang bukan peruntukannya di Kilometer 18.
Pembatalan ini ditindaklanjuti Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan menarik sertifikat itu dari peredaran pada 16 April 2015.
Bukti surat mengenai status surat Rintjik dan SHM 490/1984 Bulurokeng.
Walau sertifikat itu nyata-nyata sudah “mati”, namun nama pemegang SHM 490 ini, yakni Annie Gretha Warow, terbukti tetap tertulis sebagai pemegang hak atas tanah seluas 29.321 meter persegi di SHM 25952, terbitan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar, tanggal 21 Agustus 2014.
Tertulis sebagai “Penunjuk” di SHM 25952 itu, adalah “Sebidang Tanah Bekas Tanah Milik Indonesia Persil Nomor 6 D1, Kohir 51 C1”. Padahal, Persil 6 D1 adalah milik Tjoddo, dan Kohir 51 C1 adalah milik Sia.
Kurang dari satu tahun setelah terbitnya SHM 25952, yakni pada 13 April 2015, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar kembali menerbitkan SHGB 21970, dengan luas tanah 29.321 meter persegi, atas nama M. Idrus Mattoreang dkk. Penunjuk yang tertera di SHGB Nomor 21970 ini, adalah SHM Nomor 25952 [Bekas Hak Milik Nomor 490/Bulurokeng].
Dan, satu tahun setelah terbitnya SHGB 21970 ini, yakni pada 13 April 2016, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Makassar kembali menerbitkan SHGB dengan nomor yang sama, yakni 21970, dengan pemegang hak: 54 Ahli Waris Keluarga Tjonra Karaeng Tola. Sementara, tertulis sebagai Penunjuk adalah “Bekas Hak Milik 490 Bulurokeng”.
Padahal, “Bekas Hak Milik 490 Bulurokeng” adalah milik Annie Gretha Warow di Kilometer 20. Jadi, semestinya, para ahli waris Annie Gretha Warow-lah yang tertulis sebagai pemegang hak atas tanah di SHGB 21970, dan bukan 54 ahli waris keluarga Tjonra Karaeng Tola.
Namun, pada 21 Agustus 2014, tanah itu malah dibeli PT Inti Cakrawala Citra [ICC], perusahaan pemilik dan pengelola Indogrosir Makassar, dari ahli waris Almarhum Tjonra Karaeng Tola. Melalui keterangan yang dirilis pada 26 Mei 2023, Legal Manager PT ICC, Inriwan Widiarja, mengatakan, pembelian tanah itu sah secara hukum. Sebab, empat putusan pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung, telah resmi menetapkan Ahli Waris Tjonra Karaeng Tola sebagai pemilik tanah di Kilometer 18 itu.
Berdasar penetapan hukum itu pula, PT ICC kukuh pada keyakinannya, bahwa tanah itu adalah milik dari Ahli Waris Keluarga Tjonra Karaeng Tola, yang mereka beli dengan dasar kepemilikan tanah berupa SHGB 21970 terbitan 13 April 2016.
Di SHGB 21970 terbitan 13 April 2016 ini tertulis: pemegang hak adalah 54 Ahli Waris Keluarga Tjonra Karaeng Tola. Sementara, tertulis sebagai Penunjuk adalah “Bekas Hak Milik 490 Bulurokeng”.
Namun, “Bekas Hak Milik 490 Bulurokeng” adalah milik Annie Gretha Warow di Kilometer 20. Jadi, sekali lagi, semestinya, para ahli waris Annie Gretha Warow-lah yang tertulis sebagai pemegang hak atas tanah di SHGB 21970, dan bukan 54 ahli waris keluarga Tjonra Karaeng Tola.
SHGB 21970 atas nama 54 ahli waris keluarga Tjonra Karaeng Tola yang dialihkan atau dijual ke PT ICC itu. juga terletak di Kilometer 18. Sedangkan penunjuknya, yakni SHM 490/1984 atas nama Annie Gretha Warow, terletak di Kilometer 20.
Seluruh fakta hukum itu dipertanyakan kebenarannya oleh Majelis Hakim PN Makassar, saat sidang atas Dg. Nai pada 23 Desember 2024. Ketika itu, JPU menghadirkan lima saksi, yakni Erwin Bastian, Finance PT Inti Cakrawala Citra (ICC) Makassar; Inriwan Widiarja, Legal Manager PT ICC Pusat; Kepala Security ICC Makassar; Kepala Seksi Survei dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional (BPN), Makassar, Dyah Faisal, S.E.; dan Kepala Seksi Pendaftaran Sertifikat BPN Makassar, Aksara Alif Raja, S.E.
Dalam sidang itu, sempat berlangsung tanya jawab antara Hakim dengan Saksi Dyah Faisal, S.E., perihal pengakuan saksi, bahwa BPN Makassar menerbitkan SHGB 21970 milik PT ICC di Kilometer 18 dari SHM 490/1984 atas nama Annie Gretha Warow di Kilometer 20.
Hakim: “Apakah Saksi (Dyah Faisal) mengenal Saudara Terdakwa (Dg. Nai)?”
Dyah Faisal: “Tidak Yang Mulia.”
Hakim: “Jabatan apa yg Saudara Saksi emban saat itu?”
Dyah Faisal: “Kepala Seksi Survei dan Pemetaan BPN Makassar.”
Hakim: “Untuk penerbitan sertifikat 490, apakah Saudara yang melakukan pengukuran sendiri?”
Dyah Faisal: Betul Yang Mulia. Saya sendiri yg survei dan melakukan pengukuran pemetaan.”
Hakim: “Letak lokasi terbitnya sertifikat 490, apakah benar berada pada lokasi kilometer 20?”
Dyah Faisal : “Benar Yang Mulia. Letaknya di Kilometer 20.”
Hakim: “Lalu, untuk obyek yg sedang diduduki, dan saat ini berdiri bangunan Indogrosir, itu berada di lokasi mana, sesuai yang Saksi lakukan survei dan pengukuran saat itu?”
Dyah Faisal : Jalan Perintis Kemerdekaan, Yang Mulia.”
Hakim: “Saya tanyakan kembali, letak pasti objeknya di mana?”
Dyah Faisal: “Jalan Perintis Kemerdekaan, Yang Mulia.”
Atas jawaban Saksi yang seolah menghilangkan fakta di “Kilometer 18” itu, Hakim pun sempat terlihat geleng-geleng kepala. (*)
Tim Mitramabes.com