Jakarta-mbs || Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Prof. Yusril Ihza Mahendra mengungkap bahwa pemerintah akan segera merevisi Undang-Undang Pemilu. “Sistem sekarang ini membuat orang yang berbakat politik tidak bisa tampil ke permukaan. Maka diisi oleh para selebriti, diisi oleh artis, dan kita lihat ada kritik terhadap kualitas anggota DPR sekarang ini…,” ujar pakar Hukum Tata Negara ini.
Pernyataan Yusril menarik sebagai otokritik untuk lembaga parlemen kita, juga membawa angin segar untuk membenahi tata kelola kepemiluan. Soal politikus-artis yang berkiprah di DPR RI, mungkin perlu neraca timbangan yang proporsional, mengingat ada juga artis yang kapabel, punya kapasitas akademik dan jejak aktivis. Apapun itu, intinya Wakil Rakyat harus kembali ke khittah, menerjemahkan suara rakyat menjadi regulasi dan kebijakan yang adil.
Ketika parlemen mengalami disfungsi akut dan kinerjanya loyo, yang tersisa akhirnya “parlente”, artinya suka flexing, gaya glamor, gila barang-barang mewah, dan gemar pamer kekuasaan. Tabiat itu sungguh jauh dari spirit perwakilan rakyat. Di tengah resistensi publik terhadap perilaku pejabat negara yang mempertontonkan arogansi, parlemen malah menambah panas situasi. Kehebohan kenaikan tunjangan DPR menggambarkan mereka hanya mengurus diri sendiri daripada berpihak kepada kepentingan rakyat yang terjepit secara ekonomi. Di sisi lain, setiap jajak pendapat dalam hampir semua lembaga polling, kepercayaan publik kepada lembaga tinggi negara seperti DPR kurang bagus citranya. Termasuk partai politik.
Dengan demikian, lembaga parlemen harus kembali kepada tiga fungsi utama, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Kualitas anggota DPR RI terlihat dari seberapa produktif mereka merumuskan undang-undang yang bermutu, termasuk sejauhmana komitmen politik anggaran dalam menetapkan APBN bersama pemerintah. Kelemahan kinerja juga tampaknya tergambar dalam konteks mengontrol kebijakan pemerintah, akhir-akhir ini kebanyakan justru semacam tukang stempel. Padahal, badan legislatif secara hakiki diadakan guna memastikan jajaran eksekutif tidak bertindak sewenang-wenang.
Ironisnya, fungsi legislasi acap kali terjebak dalam pembahasan superkilat yang minus partisipasi publik, sebut saja dalam kasus Omnibus Law yang menuai ledakan sosial. Fungsi anggaran pun rawan terhadap konflik kepentingan, begitu pula fungsi pengawasan yang mengalami pengeroposan lantaran konfigurasi kekuatan koalisi sangat jumbo, sehingga DPR dan pemerintah seperti agak kabur batas tugas dan fungsinya. Pola hubungan legislatif dan eksekutif akhirnya lebih cenderung bersifat transaksional, kompromistis, dan akomodatif.
Fakta ironis ini mengingatkan kita pada ungkapan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Artinya, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup. Karena itu, watak kekuasaan yang korup memerlukan kontrol. Di sini signifikansi peran parlemen menjadi vital. Alih-alih bersuara nyaring membongkar sisi minus dari kebijakan pemerintah, malah beberapa anggota DPR mengeluarkan komentar yang meremehkan rakyat.
Demokrasi akhirnya berlaku secara prosedural, jauh dari diskursus pemikiran dan debat kebijakan yang substansial. Gelanggang politik lebih cenderung menghadirkan kebisingan politik (political noise) daripada suara rakyat (political voice). Yang kental juga adalah muatan gaya feodalistik, wataknya lebih dominan sebagai raja-raja kecil ketimbang pelayan publik, yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat reformasi. Kompleksitas persoalan lain yang merusak kondisi parlemen adalah virus oligarkisasi dan kartelisasi politik.
Dalam teori oligarki politik yang diperkenalkan oleh ilmuwan politik Jeffrey Winters, bahwa negara demokrasi yang lemah, kelompok oligark menguasai sumber daya ekonomi sekaligus mengontrol kebijakan lewat elite politik. Gejala ini tampaknya sudah menjadi rahasia umum tatkala proses legislasi yang terkesan ugal-ugalan tanpa jejak konsultasi publik yang memadai, alhasil kebijakan yang dibuat kelihatan sekali mengistimewakan golongan tertentu.
Kritik terhadap kinerja anggota legislatif tentu sangat urgen, karena mereka diberi mandat oleh rakyat, sehingga disebut Wakil Rakyat, bukan duduk, diam, dengar, duit (4D), atau goyang, glamor, glowing (3G). Kondisi parlemen seperti itu menimbulkan efek samping yang teramat krusial, yaitu kemacetan demokrasi, lantaran wakil rakyat yang mengalami penuaan dini secara gagasan, tetapi aliran parlente yang justru mengemuka. Peran mahasiswa, aktivis, masyarakat sipil dan netizen yang mengawasi tindak-tanduk pejabat eksekutif, lalu menjadi andalan di tengah kebuntuan demokrasi. Sudah saatnya DPR melakukan taubat nasional!
Untuk itu, anggota DPR penting menyadari bahwa mereka sejatinya merupakan pelayan publik, bukan penguasa. Etika tingkat tinggi harus menjadi roh anggota parlemen. Dennis Thompson dalam Political Ethics and Public Office mengatakan pentingnya etika dalam politik. Selain itu, proses legislasi perlu melibatkan partisipasi publik secara luas, bukan sekadar menggugurkan kewajiban belaka. Kontestasi ide, elaborasi riset akademis, dan konsultasi publik mesti terintegrasi secara serius dalam konstruksi nalar kebijakan. Pada saat yang sama, lembaga negara tersebut memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam konteks pembahasan undang-undang, termasuk soal budgeting agar dapat diakses publik secara terbuka.
Lebih dari itu, pengaturan kode etik benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya, bukan sekadar formalitas. Kalau ada anggota DPR yang menyimpang, sanksi harus tegas. Lembaga parlemen memiliki obligasi moral untuk menghadirkan demokrasi yang produktif. Jika DPR tidak segera membenahi diri, maka kekecewaan publik akan semakin mengental. Walhasil, yang paling berbahaya adalah potensi terbukanya tirai kebangkitan neo-otoritarian yang bakal membonsai kebebasan sebagai buah dari agenda reformasi.
Oleh sebab itu, kesadaran harus dibangunkan bersama bahwa parlemen itu pada dasarnya wahana yang mulia, bekerjalah sepenuh hati, atas dasar komitmen keberpihakan yang konkret bagi rakyat. Bukan hanya datang ke gedung dewan bergaya parlente yang menampilkan kemewahan over-dosis. Daya juang aspirasi rakyat hanya akan terwujud bilamana parlemen benar-benar diduduki oleh mereka yang memahami persoalan kebangsaan dan kenegaraan, kecanggihan intelektual, wibawa moral dan integritas yang terjaga. Jika tidak, rakyat hanya akan menjadi penonton drama politik yang penuh pesta pora dan glamorisasi. Dampaknya, suara rakyat pun terabaikan dalam gegap-gempita birahi kekuasaan.
Pemilu secara reguler memang menyediakan cahaya harapan di tengah mendung demokrasi dan kekacauan, terutama trauma kerusuhan akhir Agustus 2025. Tetapi kesabaran rakyat sudah berada di titik puncak. Kritik keras menjadi wajar adanya. Berkaitan dengan hal itu, rakyat memiliki kedaulatan untuk memberi mandat ataupun mencabut mandat wakilnya di lembaga parlemen. Susan C. Stokes (2001) dalam Mandates and Democracy mengutarakan bahwa berpijak pada demokrasi sebagai konsensus bersama, maka cabut mandat dilakukan dalam pemilu berikutnya.
Dengan demikian, apa yang diutarakan oleh Prof. Yusril untuk melakukan reformasi politik tentu menarik kita tunggu, seperti apa gebrakannya. Bukan hanya revisi UU Pemilu, tapi juga menyiapkan desain yang komprehensif dalam membangun peradaban politik dan demokrasi yang sehat di masa depan. Jika sistem politik hanya menguntungkan para pemodal raksasa, maka kita hanya bisa mengucapkan astaghfirullah. Ditunggu terobosannya, Pak Yusril. ( oleh : Akademisi Hukum dan Advokat Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H)