Sumsel MBS DI usianya kini yang telah mencapai 64 tahun, Abd Jalali Daeng Nai mestinya telah hidup tenang dan sejahtera bersama istri, keenam anak, serta sembilan cucunya.jum’at 5/5/2023
Apalagi, warga Kelurahan Tallo, Makassar, Sulawesi Selatan itu, diwarisi tanah oleh almarhum kakeknya seluas 6,4 hektar di Kelurahan Pai, Makassar. Harga pasaran tanah yang terletak tepat di tepi Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Makassar
itu kini tak kurang dari Rp 20 juta per meternya.
Jadi, bisa dimaklumi, bila Daeng Nai sempat punya angan untuk mengisi hari tuanya dengan beribadah, tanpa lagi disibukkan dengan kewajiban mencari nafkah, selayaknya pensiunan lain seperti dirinya.
Namun, angan itu, pada kenyataannya, hanyalah sebatas angan. Penyebabnya sungguh tragis. Warisan tanah pemberian Almarhum Tjoddo, kakek Daeng Nai, tersebut, sejak 2014 diduduki paksa oleh Indogrosir. Pendudukan itu, menurut Daeng Nai, dilakukan setelah Indogrosir membeli tanah tersebut dengan bermodalkan sertifikat hak milik nomor 490/1984 Bulurokeng seluas 54.142 meter persegi atas nama Annie Gretha Warow dari kilometer 20,
yang didudukkan di kilometer 18, dan surat rincik palsu Kohir 51 C1, Persil 6 D1, seluas 5,75 hektar dari kilometer 17, atas nama Tjondra Karaeng Tola [Karaeng Rama, anak daripada Tjondra Karaeng Tola].
Karaeng Rama sendiri diketahui sebagai tokoh yang pernah sangat ditakuti di Kabupaten Maros, Makassar.
“Berdasarkan data tertulis yang dikeluarkan oleh sejumlah institusi berwenang di Kota Makassar, tidak ada nama Tjondra Karaeng Tola tercatat sebagai pemilik Kohir 51 C1. Nama yang ada adalah nama Sia dan kakek saya, Tjoddo, di Kohir 54 C1 Persil 6 D1. Dan terhitung sejak 2009 hingga saat ini, nama saya-lah yang tertera dalam data pajak sebagai pemilik sah atas tanah tersebut, sesuai surat keterangan Pemerintah Kota Makassar, Kecamatan Biringkanaya,
Kelurahan Pai, Nomor 593/03/KP/XI/13, yang terdaftar berdasarkan Buku C Tahun 1955, atas nama Tjoddo, Persil 6 D1, Kohir 54 C1, Blok 157 Lompo Pai, ” ungkap Daeng Nai.
Konsekuensi hukum pun harus dipikul Daeng Nai. Sebagai orang yang namanya tercatat sebagai pemilik sah atas tanah tersebut, maka sejak 2009 ia pun rutin menjalankan kewajibannya membayar Pajak Bumi dan Bangunan [PBB]. Kewajiban yang sama juga rutin dilaksanakan Almarhum Tjoddo semasa hidupnya,
Tak kurang dari uang puluhan juta rupiah dikeluarkan Daeng Nai pada setiap tahunnya sejak 2009, untuk membayar PBB tanahnya tersebut. Pada 2023 ini, ia pun sudah ditagih untuk kembali membayar PBB senilai Rp 88 juta.
“Tagihan itu sampai sekarang belum saya bayar. Pertama, jumlahnya sangat besar. Dan yang kedua, yang paling penting, saya rutin membayar PBB, tapi saya malah terusir dari tanah saya itu. Pertanyaan saya: bagaimana bisa saya selaku pembayar PBB atas tanah saya, justru tidak bisa menempati dan memberdayakan tanah yang nyata-nyata saya miliki tersebut,” tegas Daeng Nai.
Beragam upaya hukum pun telah ditempuh Daeng Nai untuk memperjuangkan haknya atas tanah warisannya itu. Namun, kata Daeng Nai, “Semua membentur jalan buntu.
Mungkin, karena saya orang kecil, yang secara keuangan kalah jauh dibandingkan Indogrosir.” Ia kemudian mengaku pula, tak hanya selalu dikalahkan dari sisi hukum, namun hidupnya pun sempat menjadi tidak nyaman, gara-gara munculnya gangguan dan teror dari sejumlah orang tak dikenal.
“Pernah, malam-malam, rumah saya didatangi serombongan orang yang mengendarai delapan sepeda motor. Demi keamanan saya dan keluarga saya, terpaksa malam itu saya bersama istri dan anak mengungsi ke rumah kerabat istri saya,” kenang Daeng Nai, yang mengaku telah empat kali mengalami teror dari orang tak dikenal. “Tapi, saya tidak mau menyerah. Sampai mati, saya akan tetap memperjuangkan hak saya atas tanah itu,”
ucap Daeng Nai. Ia berencana, dalam waktu dekat, akan ke Jakarta, guna menemui sejumlah tokoh yang diyakini bisa menolong dirinya.
“Saya percaya, kebenaran mungkin bisa kalah, tapi kebenaran tak akan mungkin salah. Biarkan kebenaran mencari jalannya sendiri,”
( ESV TEAM )