
Pontianak | Kamis, 25 Desember 2025 —Mitramabes.com
Dugaan intimidasi, ancaman, dan ujaran bernuansa SARA yang dilakukan seorang oknum yang mengaku wartawan dari Kalimantan Post terhadap Ketua DPC Aliansi Wartawan Indonesia (AWI) Kota Pontianak, Budi Gautama, dinilai telah melampaui batas etika jurnalistik dan memasuki wilayah pelanggaran hukum serius. Peristiwa tersebut diduga terjadi melalui sambungan telepon pada Selasa, 23 Desember 2025 sekitar pukul 14.00 WIB, dengan muatan ancaman, penyeretan isu ras dan suku, serta tantangan kekerasan fisik yang mencederai nilai dasar profesi pers.
Pihak media kemudian mewawancarai Ketua DPD Asosiasi Wartawan Profesional Indonesia (AWPI) Kalimantan Barat, Andi Firgi, S.H., C.B.J., C.E.J., C.In., melalui sambungan telepon. Andi Firgi menyatakan telah mendengar langsung penuturan Ketua DPC AWI Pontianak terkait ancaman yang diterimanya. Menurutnya, secara konseptual dan yuridis, tindakan yang diduga dilakukan oleh oknum tersebut tidak dapat lagi dipandang sebagai bagian dari kerja jurnalistik.
“Saya menyatakan secara tegas bahwa setiap dugaan ancaman, intimidasi, dan penyeretan isu SARA oleh pihak yang mengaku wartawan merupakan penyimpangan serius terhadap hakikat dan fungsi pers. Itu bukan kerja jurnalistik, melainkan indikasi kuat penyalahgunaan profesi yang berpotensi masuk ke ranah pidana umum,” tegas Andi Firgi.
Ia menegaskan bahwa kemerdekaan pers sebagaimana dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tidak pernah dimaksudkan sebagai ruang bebas nilai untuk melakukan tekanan atau teror verbal. Kebebasan pers, menurutnya, adalah kebebasan yang dibatasi oleh etika, rasionalitas, dan supremasi hukum. Ketika identitas wartawan digunakan untuk mengancam, maka perlindungan hukum pers gugur secara fungsional dan yang bersangkutan harus dipertanggungjawabkan sebagai warga negara biasa di hadapan hukum.
Andi Firgi juga menekankan bahwa persoalan ini tidak boleh direduksi sebagai konflik personal atau perbedaan antarorganisasi. “Kita sama-sama insan pers, meskipun berada dalam organisasi yang berbeda. Justru karena itu, kita wajib bersikap ketika ada dugaan premanisme verbal yang dibungkus atribut jurnalistik. Membela etika pers bukan membela oknum, melainkan menjaga marwah profesi,” ujarnya dengan nada kritis.
Ia menambahkan, apabila dugaan ancaman tersebut benar dan memenuhi unsur hukum, maka aparat penegak hukum memiliki dasar konstitusional untuk bertindak cepat dan proporsional. Penegakan hukum yang tegas dinilai penting untuk menciptakan efek jera serta mencegah terbentuknya persepsi keliru bahwa profesi wartawan kebal hukum.
Setelah pernyataan tersebut, Ketua DPC AWI Pontianak Budi Gautama menegaskan bahwa ancaman yang diterimanya bukan persoalan pribadi, melainkan serangan langsung terhadap martabat profesi wartawan dan prinsip kebebasan pers yang bertanggung jawab. Ia menjelaskan bahwa dalam percakapan telepon tersebut dirinya mengalami tekanan verbal, penyeretan isu ras dan suku, serta ancaman yang menimbulkan rasa takut dan tidak aman. Menurutnya, perbedaan pandangan di kalangan wartawan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme intelektual argumentasi, verifikasi data, dan kerja jurnalistik yang sehat bukan dengan ancaman atau intimidasi.
Budi menyatakan siap menempuh langkah hukum yang diperlukan agar peristiwa tersebut tidak menjadi preseden buruk bagi dunia pers. Ia menegaskan bahwa pembiaran terhadap praktik intimidasi atas nama pers hanya akan menggerus kepercayaan publik terhadap media dan merusak legitimasi moral profesi jurnalistik.
Pandangan tegas juga disampaikan pakar hukum Dr. Herman Hofi Munawar, S.Pd., S.H., M.H., M.Si., MBA., C.Med., CPCD. Ia menilai kasus ini sebagai alarm serius bagi ekosistem media. Menurutnya, hak imunitas wartawan bersifat fungsional dan terbatas, hanya melekat pada aktivitas jurnalistik yang sah dan profesional. “Begitu profesi pers digunakan untuk mengancam, mengintimidasi, atau menyebarkan kebencian berbasis SARA, maka perbuatannya berdiri sebagai tindak pidana umum. Ini bukan sengketa pers dan bukan ranah Dewan Pers,” tegasnya.
Ia menambahkan, negara hukum tidak boleh tunduk pada simbol atau atribut profesi apa pun. Aparat penegak hukum justru wajib hadir untuk menegakkan hukum secara objektif dan proporsional demi menciptakan deterrent effect, agar profesi wartawan tidak disalahgunakan sebagai tameng tindakan melawan hukum.
ini menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah pilar demokrasi yang hanya dapat berdiri kokoh apabila dijalankan dengan etika, kejernihan akal, dan kepatuhan terhadap hukum. Setiap bentuk intimidasi, ancaman, dan ujaran SARA atas nama pers bukan hanya pelanggaran etika jurnalistik, tetapi juga ancaman nyata terhadap nilai konstitusional yang harus dihadapi dengan ketegasan, keberanian moral, dan penegakan hukum yang berkeadilan.
(Sy.Mohsin/Tim)










