Takengon- MBS
Upaya penyelesaian konflik tenurial yang terjadi di lahan areal perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) PT Tusam hutani lestari(PT THL) khususnya terkait dengan klaim lahan dan tumpang tindih dokumen sporadik oleh sejumlah pihak di wilayah Isaq kecamatan Linge kabupaten Aceh Tengah,
Kegiatan mediasi penyelesaian konflik tenurial 13/06/2025 di aula kantor camat Linge,
Tenurial” dalam konteks hak dan sumber daya alam merujuk pada hak dan jaminan yang terkait dengan pemilikan, penggunaan, dan pengelolaan sumber daya, seperti hutan atau lahan. Hak tenurial mencakup aspek siapa yang memiliki, memanfaatkan, mengelola, dan mengambil keputusan terkait sumber daya tersebut. yang berarti memegang atau memiliki.
Acara tersebut hadir: Camat Linge,Danramil 05)Linge,Kapolsek Linge,KPH III,BKPH ,BPN Kabupaten Aceh Tengah,Tim Kejaksaan Kabupaten Aceh Tengah,Pihak PT THL,Mukim Isaq,Reje dalam kemukiman Isaq juga RGM dalam kemukiman Isaq,dan pihak yang berselisih terkait lahan,
Sebagai narasumber KPH III, pencerahan hukum oleh Kejaksaan Kabupaten Aceh Tengah,
Dalam suasana yang penuh harapan dan semangat musyawarah, para pemangku kepentingan dari unsur Muspika, perwakilan masyarakat, serta pihak PT. Tusam Hutani Lestari (THL) duduk bersama dalam sebuah forum terbuka yang digelar di aula kantor camat, Kecamatan Linge, guna mencari titik temu dalam penyelesaian polemik tumpang tindih lahan yang telah berlangsung cukup lama di kawasan tersebut.
Acara dibuka oleh Camat Linge yang menekankan pentingnya forum ini sebagai contoh penyelesaian konflik agraria melalui pendekatan dialogis dan partisipatif. Ia berharap forum semacam ini dapat menjadi rujukan bagi wilayah lain dalam merespons persoalan serupa.
“Kami berharap forum seperti ini menjadi rujukan bagi desa-desa lain dalam menyelesaikan polemik agraria secara adil, damai, dan bermartabat,” ujar Camat Linge dalam sambutannya.
Kapolsek Linge dalam pernyataannya menyoroti adanya tumpang tindih klaim atas lahan antara masyarakat yang mengacu pada dokumen sporadik dan hukum adat, serta PT. THL yang mengantongi izin PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) secara legal formal. Ia menegaskan pentingnya perlindungan rasa aman bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas perekonomian mereka.
“Kita menyaksikan adanya ketimpangan komunikasi antara warga dan perusahaan. Ini harus diselesaikan. Prinsip kami sederhana: masyarakat harus tetap merasa aman dalam menjalankan aktivitas ekonomi mereka,” jelasnya.
Danramil Linge menambahkan pentingnya penguatan komunikasi dua arah antara masyarakat dan perusahaan guna menjaga stabilitas wilayah. Menurutnya, keluhan masyarakat perlu dijadikan bahan evaluasi bersama, bukan dipandang sebagai ancaman.
“Kami menerima berbagai keluhan dari masyarakat. Maka penting adanya komunikasi dua arah yang lebih terbuka dan konstruktif,” ungkap Danramil.
Perwakilan Kejaksaan Negeri Takengon menyampaikan bahwa sistem hukum Indonesia membuka ruang penyelesaian melalui berbagai jalur. Namun demikian, musyawarah harus tetap menjadi pilihan pertama yang diutamakan, mengingat pendekatan ini lebih berakar pada nilai-nilai lokal dan berpotensi meredam eskalasi konflik.
“Dalam sistem hukum, ada banyak jalur penyelesaian. Namun kami menyarankan agar mediasi dan musyawarah tetap dikedepankan sebelum memilih jalur hukum formal,” tuturnya.
Pihak PT. THL dalam paparannya menegaskan bahwa agenda ini dilaksanakan untuk meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di lapangan. Mereka juga menyatakan keterbukaan terhadap kolaborasi bersama masyarakat dalam program pemberdayaan ekonomi berbasis komoditas unggulan, seperti penanaman sereh wangi dan kapulaga.
“Kami hadir bukan hanya sebagai pemegang izin usaha, tetapi juga sebagai mitra masyarakat dalam membangun ekonomi lokal. Komitmen kami adalah menjaga komunikasi dan menciptakan sinergi,” ujar perwakilan perusahaan.
Dalam sesi dialog terbuka, berbagai suara dari masyarakat mencuat ke permukaan. Mukim Isaq mempertanyakan legalitas klaim lahan oleh perusahaan, dan menyoroti minimnya komunikasi antara pihak perusahaan dengan aparatur desa.
“Kami bingung. Kepala desa pun tidak tahu kapan pengukuran dilakukan. Kami bukan investor besar, hanya rakyat biasa yang ingin mencari nafkah dari tanah sendiri,” tegasnya.
Warga lain, Pitriadi, juga mempertanyakan kelanjutan proses atas klaim lahan miliknya yang telah disampaikan kepada pihak terkait.
“Lahan saya sudah saya klaim. Kami butuh kepastian kelanjutan proses ini,” ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah III, Ismihadi, menjelaskan bahwa status lahan yang disengketakan masih berada dalam kawasan hutan negara, mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 serta UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Ia menyebut bahwa tata guna lahan kehutanan ditentukan melalui mekanisme kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah.
Kajari Aceh Tengah menambahkan bahwa opsi solusi legal tersedia, seperti skema kerja sama, kemitraan, atau pengajuan perubahan status kawasan. Namun ia menekankan bahwa semua opsi tersebut membutuhkan proses yang panjang dan prosedural.
“Solusi terbuka lebar, tetapi implementasinya menuntut kesabaran, legalitas, dan ketelitian administratif,” pungkasnya.
Pertemuan ini diakhiri dengan komitmen bersama untuk terus mengedepankan komunikasi, membangun transparansi, serta mencari solusi kolaboratif yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan supremasi hukum. Semua pihak sepakat bahwa konflik agraria tidak akan selesai dengan konfrontasi, melainkan melalui musyawarah yang menjunjung martabat seluruh elemen masyarakat.