Mbs.com- Sumatera Utara, Batubara– Keadilan seharusnya hadir untuk semua warga negara, tanpa pandang usia, latar belakang, atau kemampuan finansial. Namun, realitas di lapangan kerap kali jauh dari cita-cita hukum yang ideal. Kasus yang menimpa seorang warga lansia di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara, menjadi potret getir bagaimana penanganan laporan hukum bisa terasa jalan di tempat dan menyisakan tanda tanya besar terhadap integritas aparat. Rabu 5/11/2025.
Piter Tampubolon, 69 tahun, warga Pematang Cengkring, Kecamatan Medang Deras, melapor ke Polres Batubara pada 21 Oktober 2025, Ia mengadukan dugaan tindak pidana pengancaman sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 335. Peristiwa itu disebut terjadi pada 14 Mei 2025, di mana terlapor berinisial G.T, 65 tahun diduga memaki dengan kata-kata kasar sambil memegang parang, bahkan melemparkannya ke arah pelapor meski tidak mengenai tubuh korban.
Sebagai warga negara, melapor adalah hak. Mendapatkan penanganan sesuai SOP juga adalah hak. Namun apa yang terjadi justru meninggalkan aroma persoalan yang tak sedap.
Saat ditemui awak media pada 4 November 2025, Piter tak mampu menyembunyikan kecewa dan kesal. Ia mengungkap belum pernah menerima SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) dari penyidik yang menangani perkaranya, meski sudah berulang kali mendatangi Polres Batubara.
Lebih jauh lagi, muncul dugaan praktik tidak etis yang menyayat nurani publik.
“Saya belum pernah terima SP2HP. Penyidik tidak serius. Setiap kami ke Polres, mereka kerap menerima uang dari saya lewat istri saya,” ungkap Piter.
Nada geram juga datang dari istrinya, Ika Rinda Boru Damanik. Ia menyebut telah berkali-kali memberikan uang kepada oknum penyidik berinisial Simamora dan seorang petugas lainnya.
“Setiap ke Polres pasti ngasih uang. Sm satu juta saya amplop kan, St lima ratus, lalu dua ratus ribu, tapi laporan kami sampai sekarang tak jelas, Telepon pun tak diangkat,” tegasnya.
Dugaan ini sangat serius. Bila benar terjadi, maka ini bukan sekadar kasus lambat proses, melainkan sinyal adanya budaya “pelicin” yang mencederai kehormatan institusi kepolisian dan menambah deretan keluhan masyarakat terkait pelayanan hukum.
Awak media telah mencoba menghubungi Kapolres Batubara AKBP Dolly Nainggolan melalui pesan WhatsApp pada 5 November 2025. Hingga berita ini ditayangkan, belum ada jawaban atau klarifikasi resmi.
Diam bukan selalu tanda salah, tapi dalam isu sebesar ini, diam justru makin menimbulkan kecurigaan dan kegelisahan publik.
Jika benar laporan warga lanjut usia seperti Piter tidak berjalan karena tidak “mengalirkan uang” cukup besar, ini adalah alarm keras bagi penegakan hukum kita.
Kepolisian adalah benteng hukum rakyat, bukan loket tidak resmi yang harus “disetor” agar berfungsi. Setiap rupiah yang diduga diterima tanpa dasar resmi adalah noda yang meruntuhkan kepercayaan masyarakat.
Bukan rahasia, praktik seperti ini kerap dianggap “biasa”. Tapi jika yang biasa itu adalah ketidakadilan, maka publik harus berani bersuara.
Kasus ini adalah tes moral bagi Polres Batubara, apakah hukum akan tegas menegakkan keadilan untuk seorang kakek 69 tahun yang mencari perlindungan ?, atau malah akan membiarkan dugaan-dugaan kelam ini menjadi norma baru di balik seragam.
“Institusi Kepolisian harus menegaskan komitmen: transparansi, profesionalisme, dan pelayanan kepada masyarakat bukan kepada amplop”, tegas pelapor kepada awak media.
Masyarakat menunggu respons.
Negara tidak boleh kalah oleh ketidakadilan yang diduga terjadi di ruang penyidikan. (Albs/tim)









