Padang MBS Com. Detak Indonesia-Kasus perksekusi terjadi terhadap umat Kristen saat sedang melangsungkan acara ibadah, semakin meluas belum lama berselang dari kejadian di cidahu Sukabumi, di desa kapur kalbar dan di sumber makmur kalteng dan terkini lanjut di Padang sarai sumbar, Kecamatan Koto Tengah, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, Minggu, (27/7-2025)
Saat jemaat sedang menjalankan ibadah, sekelompok warga secara paksa membubarkan kegiatan tersebut. Mereka datang beramai-ramai mengepung lokasi ibadah dengan tindakan yang mencerminkan arogansi dan kekerasan. Beberapa di antaranya membawa balok kayu, berteriak-teriak dengan emosi, memecahkan kaca bangunan, merusak kursi, bahkan melakukan kekerasan fisik. Anak-anak pun tidak luput dari serangan, ada yang terkena pukul dan tendang saat jemaat yang ketakutan berlarian menyelamatkan diri, sementara tangisan histeris anak-anak memenuhi suasana.
Secara hukum, tindakan ini bukan sekadar pelanggaran ketertiban umum tetapi juga mencakup penganiayaan, perusakan fasilitas ibadah dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29. Negara berkewajiban menjamin setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.
Namun dari berbagai peristiwa yang terjadi, terlihat bahwa peran negara dan aparat penegak hukum masih sangat minim atau bahkan absen. Menteri Agama, yang seharusnya berdiri paling depan melindungi hak beragama, tidak menunjukkan kepedulian yang memadai. Kementerian Hukum dan HAM pun justru mau menjamin pelaku Intolerasi daripada memberikan perlindungan kepada korban.
Presiden pun lebih sering terlihat menyuarakan kepedulian terhadap konflik internasional seperti Palestina, namun belum secara tegas bersikap atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi terhadap jemaat minoritas di dalam negeri.
Kasus serupa di Cidahu pun hingga kini belum menemukan keadilan yang tuntas. Korban dan kuasa hukumnya masih terus berjuang. Bahkan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, meskipun warga telah melakukan demonstrasi besar-besaran menolak tindakan intoleransi, aparat belum menyentuh oknum RT maupun kepala desa yang menolak pembangunan gereja tanpa dasar hukum yang sah.
Sungguh ironis, di negeri yang menjunjung tinggi semboyan *Bhinneka Tunggal Ika*, umat Kristen masih harus beribadah dalam ketakutan, terus-menerus mengalami penolakan, kekerasan, bahkan persekusi, hanya karena menjalankan keyakinannya.
Lebih menyedihkan lagi, ketika hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru tak kunjung berpihak. Keadilan terasa jauh, perlindungan negara tak kunjung nyata.
Sampai kapan umat Kristen harus bertahan dalam situasi seperti ini? Sampai kapan suara tangis dan luka batin jemaat dianggap wajar dan layak didiamkan?
Kami hanya ingin beribadah dengan damai tanpa ancaman, tanpa penghakiman, tanpa kekerasan. Tapi selama keadilan masih berpihak pada tekanan massa, maka luka ini akan terus membekas dalam sejarah bangsa. (Stm)
Kasus persekusi terjadi lagi terhadap umat Kristen di Padang Sumatera Barat, Minggu (27/7-2025)(Saritua Manalu/Detak Indonesia. Co.id)
( Musa Tampubolon )