Seperti iklim musim yang sedang berganti, ada saatnya manusia menanam, ada saatnya menajuk dan ada saatnya menuai, seakan mengisyaratkan juga tata kelola pemerintahan di negeri kita. Karena itu pula optimisme menjadi penting pada pemerintahan Presiden Prabowo yang sudah mengisyaratkan sedang kerja keras, tak hanya hendak membangun untuk memperbaiki kesejahteraan untuk segenap warga bangsa republik yang yang nyaris seabad merdeka, tapi masih centang blonteng juga kondisi rakyatnya yang miskin dan papa.
Nadim Anwar Makarim sudah ditangkap oleh Kejaksaan Agung yang telah mendapat pengawalan keamanan khusus dari TNI. Jadi sungguh ada isyarat pelaku korupsi yang tersemat pada musim tanam pertanian sebelumnya, kini mulai dituai — ditebas — seperti istilah petani di Jawa merontokkan hasil tanaman itu satu persatu dari sang pohon yang kelak pasti mendapat giliran untuk ditebang sekaligus, biar halaman keraton yang indah tidak menyemak menyesakkan dada dan pemandangan peradaban manusia yang beradab.
Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang sudah dicongkel dari tempat persemaiannya yang masih hendak bertumbuh dan terus berkembang itu — apa boleh buat — harus direlakan menandai pertumbuhan taman Istana yang tak boleh menyemak itu. Itu, karena memang perlu dibersihkan, agar langkah Presiden mau membangun bangsa dan negara tidak terhalang. Begitu juga pengampu puncak pendidikan di negeri ini — Menteri Pendidikan yang belum bisa dianggap lapuk — perlu dibereskan agak tidak menular kepada para Guru yang mencerdaskan anak dan cucu kita itu — tapi kok, dikuyo-kuyo seperti pesakitan yang menjadi beban negara. Jadi, semakin jelas, toh sumber biar kerok — kalau tidak bisa disebut juga sebagai provokator — seperti menaikkan nilai pajak yang berlipat ditengah rintihan rakyat yang terhimpit harga beras oplosan (seperti BBM) yang tak mampu dibeli, karena duit yang ada itu baru saja disita oleh Kejaksaan Agung dari para pengemplang yang tak tahu diri numpang hidup di negeri ini.
Itulah cernaan akal spiritual yang normal, tetap meyakini niat baik dan tulus Presiden Prabowo Subianto untuk membangun dan bersih-bersih di negeri yang serba kotor ini. Presiden mengerahkan Tentara untuk mengawal para Jaksa untuk terus bekerja keras — yang mengisyaratkan juga tidak percaya kepada aparat lainnya — toh mulai tampak hasil menguak antrean ratusan kendaraan penyuplai minyak solar untuk keperluan Singapur, bukan untuk konsumsi di dalam negeri yang selalu dibatasi untuk dibeli oleh warga masyarakat sendiri, seperti yang berlaku di berbagai kota negeri kita setidaknya sejak tiga tahun terakhir.
Jadi musim panen untuk para koruptor dan maling diunduh Kejaksaan Agung pasti akan didukung habis oleh rakyat tanpa bimbang dan ragu. Sebab kata para pakar, para koruptor yang menumpuk kekayaannya sampai segunung itu adalah penyebab angka kemiskinan rakyat kecil sekitar 192 juta jiwa yang perlu dipasok makan bergizi gratis, jadi bukan hanya anak-anak sekolah saja, tapi emak dan bapaknya yang semakin loyo tidak mampu mencari nafkah dengan cara yang baik dan benar. Akibatnya, ya itulah potret nyata yang acap latah dikatakan terhadap mereka yang menjarah saat kerusuhan dianggap hendak menggulingkan negara. Padahal mereka itu mungkin hanya ingin mengekspresikan cara kenyataan aset yang tak kunjung mau dibuatkan UU oleh DPR RI yang memang lebih dominan sebagai pelaku pengentit duit haram itu.
Kisa kata baru dalam khazanah bahasa politik di Indonesia pun ikut berkembang. Istilah koruptor dan provokator dalam analisis para pakar ikut muncul istilah promotor dalam mengurai masalah peristiwa puncak yang dianggap kerusuhan pada 25 – 28 Agustus 2025 di Jakarta — yang juga susul menyusul terjadi di berbagai daerah lain di Indonesia yang tak kalah seru dan mengerikan itu — muncul pula istilah promotor dalam serangkaian peristiwa itu, kendati belum populer menjadi istilah untuk mereka yang acap dianggap disebut dalam setiap kali adanya gejolak yang menandai kemarahan rakyat.
Walhasil, diskusi rutin Senin-Kamis yang diselenggarakan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) merasa perlu untuk menguliti istilah promotor dalam aksi dan unjuk rasa yang sering dilakukan oleh para kaum pergerakan di Indonesia ini, menjadi topik bahasan diskusi Kamis-Senin berikutnya agar lebih jernih membedakan dengan campur tangan mafia asing atau cawe-cawe bos dan bos besar yang masih gandrung dan kesengsem ngelonin negeri kita ini.
Dalam diskusi rutin GMRI Senin-Kamis, 3 September 2025, muncul semacam rumusan baru yang menandingi koruptor, provokator dan promotor dari tajuk diskusi tentang fenomena kemarahan rakyat akibat dipabrik oleh nilai pajak yang melonjak hingga tampilan jingkrakkan para anggota dewan yang dipertontonkan dengan sengaja, seakan-akan tengah mengejek rakyat yang mulai marah dengan memamerkan kenaikan tunjangan dan upah para anggota dewan yang selalu mengklaim paling terhormat itu.
Lantas, ketika rakyat menggeruduk satu persatu kediaman mereka yang super mewah itu — bukan hanya menambah kecemburuan sosial semakin membara hingga tidak hanya membakar kediaman mereka yang kaya raya itu, tapi juga mencederai hati rakyat yang sudah terluka hingga membabi buta membakar pula fasilitas umum yang sangat kita perlukan juga. Minimal dengan terganggunya transportasi umum, seorang aktivis yang harus melaju setiap hari dari daerah Kohod, Banten yang semakin masif penimbunan lautnya itu, membuat mobilitas jadi kacau dan terhambat.
Sisa dari kemarahan rakyat — karena istilah kerusuhan tidak cukup bijak untuk digunakan pada setiap babak akhir dari aksi dan unjuk rasa yang menandai dialog yang macet — tampaknya perlu dicarikan istilah yang lebih menyejukkan. Karena esensi dari istilah kambing hitam itu bisa mengurangi rasa tanggung jawab kita dalam sikap dan sifat yang ugahari. Karenanya penulis mendukung pilihan bijak Uya Kuya untuk mendatangi Kapolres yang menangkap mereka yang dianggap perusuh itu untuk dimaafkan saja. Toh, nasi sudah terlanjur menjadi bubur.(HR)
Pecenongan, 3 September 2025