Mitramabes.Com
Istilah mata hati itu artinya secara awam adalah melihat segala sesuatu dengan hati, bulan dengan panca indra yang lain. Demikian juga dengan istilah mendengar dengan hati ialah, konsentrasi menyimak apa yang didengar itu dengan telinga hati. Karena itu dalam khazanah spiritual acap disebut berpikir dengan hati, tidak dengan otak. Atau dalam istilah lama yang nyaris lapuk seperti pepatah yang mengatakan bahwa berpikir itu pelita hati. Artinya, apapun yang dipikirkan oleh manusia — untuk kemudian mungkin terus bertindak — maka proses berpikir itu sesungguhnya harus mengabdi kepada hati. Karena pemikiran yang paling jenius sekalipun tetap tidak memberi jaminan untuk berpikir dengan cara yang baik untuk yang baik-baik. Karena kalau cuma atas dasar berpikir untuk sesuatu hal sangat mungkin akan melahirkan hal-hal yang tidak baik.
Realitasnya begitulah pandangan spiritual yang menempatkan hati sebagai pusat kesadaran untuk memproduksi kebijaksanaan, tidak bisa diperankan oleh pikiran yang dominan, karena untuk memutuskan sesuatu termasuk hukuman terhadap seorang terdakwa harus menggunakan hati. Tidak bisa sepenuhnya menggunakan norma hukum untuk memvonis seorang yang bersalah sekalipun.
Jadi, betapa besarnya peranan hati nurani manusia itu harus tampil dan berperan, sehingga dalam proses munculnya rasa iri dan dengki bisa menimbulkan bencana yang sangat sulit untuk diprediksi akibat dan dampaknya bagi yang bersangkutan maupun orang yang menjadi sasaran atas sikap dan sifat dari iri dengki itu. Sebab bisa hasilnya jelas akan menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Lantaran sikap dan sifat itu dan dengki itu tidak akan mendatangkan keuntungan apapun, kecuali kerugian yang justru harus diderita oleh yang melakukan dan boleh jadi juga obyek yang menjadi sasaran dari iri dan dengki itu.
Sikap dan sifat iri dan dengki itu memang produk dari hati yang terlepas dari kontrol kerja otak yang lemah. Dalam khazanah spiritual, hati atau qalb adalah pusat rasa dan pengungkit niat serta pendorong dari kecenderungan batin untuk bergerak dan bertindak seperti buru sergap untuk melumpuhkan musuh atau membangkitkan perlawanan moral yang tidak tidak boleh menyerah, kendati pada akhirnya akan menjadi kalah. Namun pertarungan dalam gairah perlawanan sudah konsisten untuk tetap dilakukan, sebagai bagian dari keimanan manusia yang beragama dan yang memiliki harga diri.
Biasanya, sikap dan sifat iri dan dengki itu muncul dari kegelapan hati yang kehilangan cahaya penerangnya untuk menentukan sikap pilihan yang lebih terang dan bersih, tiada setitik debu. Dan ketika sikap dan sifat iri dan dengki itu muncul, jelas ketika hati sedang tidak bersih dari hasad, karena cinta duniawi dan nafsu ingin lebih dari orang lain, dan tak hendak disaingi dan dilampaui oleh orang lain. Maja itu, hati sebagai sumber dari gelegak emosi, akan semakin menjadi ketika otak berada pada posisi yang memprovokasi kemunculan sikap dan sifat iri dan dengki itu yang tidak punya urusan apapun dengan apa yang sebaiknya harus kita lakukan untuk diri sendiri agar dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan lebih bermanfaat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Untuk mengatasi sikap dan sifat iri dan dengki ini, jelas terkait erat dengan laku spiritual yang harus mampu membangkitkan kesadaran dan pemahaman spiritual yang sejati untuk mensucikan hati — tazkiyatun nafs — sebagai kuncinya. Lantaran tak hanya cukup menjinakkan pikiran yang liar dan bengis itu, tapi juga harus menata gejolak batin agar ikhlas dan berlapang dada penuh rasa syukur atas apa saja yang mampu digapai oleh orang lain itu.
Dan hati — sebagai pusat kesadaran spiritual dan moral — seyogyanya mampu untuk mengatasi rasionalitas yang dilakukan oleh otak. Getaran hati sesungguhnya memiliki kemampuan untuk menolak dominasi logika berpikir yang berada jauh dibawah kecerdasan spiritual yang rajin terasah, atau tidak tumpul karena terbius oleh nafsu duniawi yang serakah dan rakus.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa pikiran tanpa hati artinya buta — karena yang bersangkutan ajan kehilangan arah, dan nilai-nilai kebaikan akan musnah dan sia-sia.
Esensi utamanya mata hati dan telinga hati adalah kunci dari upaya untuk memahami realitas melalui kedalaman dari tikaman rasa, bukan sekedar data atau logika yang menyesatkan pendapat untuk pembenaran rasa iri dan dengki yang tidak sama sekali berguna dan tidak sama sekali ada gunanya itu.
(HR)
Banten, 9 Agustus 2025