OKI media mitramabes Senen 4 September 2023
Abd Jalali Dg Nai tak juga berhenti menggugat keabsahan berdirinya bangunan Indogrosir di atas tanah Kilometer 18, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, Sulawesi Selatan. Bapak enam anak dan kakek sembilan cucu ini, adalah ahli waris tanah Almarhum Tjoddo, yang terusir paksa dari tanah miliknya di Kilometer 18 itu pada 1990-an silam. Pada 2014, lewat transaksi jual beli yang dinilai Dg Nai, tidak dilengkapi surat-surat kepemilikan tanah yang sah, tanah itu berpindah tangan ke PT Inti Cakrawala Citra (ICC), perusahaan pemilik dan pengelola Indogrosir.
“Seperti sudah selalu saya katakan berulang-kali, saya ini korban mafia tanah,” kata Dg Nai. Ditemui Senin (4/9) di Jakarta, lelaki pensiunan sebuah maskapai penerbangan ini kembali mengungkapkan, bahwa tanah di Kilometer 18 itu dimiliki kakeknya, Tjoddo, sejak tahun 1910. Pada 1955, sepeninggal kakeknya itu, tanah tersebut diwariskan kepada Ibunda Dg Nai, dan kemudian kepada Dg Nai. “Sejak dimiliki oleh saya, tanah itu belum pernah sekali pun saya jual,”kata Dg Nai.
Bahwa tanah itu kemudian berpindah tangan, penyebabnya adalah sebuah peristiwa yang dialami Dg Nai pada 1990-an silam. Kala itu, di sebuah siang yang panas, saat Dg Nai tengah bekerja di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, serombongan orang tak dikenal bersenjata tajam menduduki paksa tanah miliknya itu. Dipimpin H. Andi Mattoreang, alias Karaeng Ramma, tanah itu diklaim sebagai milik Keluarga Tjonra Karaeng Tolla, berdasarkan Surat Rintjik (Simana Boetjaja) No. 157, Persil 6 D I Kohir 51 CI atas nama Tjonra Karang Tolla, yang tiada lain adalah ayah dari Karaeng Ramma.
Belakangan terbukti, Surat Rintjik itu adalah hasil rekayasa dari dua surat kepemilikan tanah, yakni Persil 6 D I di Kilometer 18 milik Tjoddo, dan Kohir 51 C I di Kilometer 18 milik Sia. Kendati demikian, Dg Nai tak juga kunjung bisa kembali ke tanah di Kilometer 18 itu. Nasibnya bahkan kian kelam, karena di tanah miliknya itu kemudian berlangsung pula pendudukan paksa oleh tiga serangkai: Dr. Andreas Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali.
Berbekal SHM 490/1984 Bulurokeng atas Annie Gretha Warow dari Kilometer 20, ketiga serangkai itu membangun 281 unit rumah di sebuah kompleks perumahan di Kilometer 18. Akibat aksi ini, terjadi saling gugat antara tiga serangkai dengan Karaeng Ramma, selaku pelaku pertama pendudukan paksa tanah di Kilometer 18. Setelah melalui serangkaian episode saling gugat yang berlangsung panjang dan dimenangkan Keluarga Tjonra Karaeng Tolla, tanah tersebut berpindah tangan ke PT ICC.
“Sertifikat yang digunakan dalam transaksi jual beli atas tanah milik saya itu, adalah SHGB 21970 terbitan 13 April 2016. Sertifikat itulah yang diklaim Legal Manager PT ICC, Inriwan Widiarja, sebagai bukti kepemilikan dalam transaksi jual beli tanah Kilometer 18 antara PT ICC dan keluarga ahli waris Tjonra Karaeng Tola,” ungkap Dg Nai, yang mengaku akan terus menggugat keabsahan SHGB 21970 terbitan 13 April 2016 itu, karena sertifikat itu memiliki banyak sekali cacat hukumnya.
Cacat hukum itu bermula saat Laboratorium Forensik Polri Cabang Makassar, melalui Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen, Nomor Lab: 25/DTF/2001, tertanggal November 2008, menyimpulkan, bahwa jenis kertas dan tinta pada Surat Rintjik (Simana Boetjaja) No.157, Persil 6 D I Kohir 51 C I, atas nama Tjonra Karaeng Tolla, tidak sesuai dengan jenis kertas dan tinta penerbitan surat rincik tersebut pada tahun 1936.
Selanjutnya, pada 16 April 2015, Badan Pertanahan Nasional [BPN] Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, juga resmi menarik dari peredaran SHM 490/1984 Bulurokeng atas nama Annie Greta Warow dari Kilometer 20, yang telah didudukkan paksa oleh tiga serangkai: Dr. Andreas Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali, di tanah Kilometer 18 milik ahli waris Almarhum Tjoddo.
Namun, meski nyata-nyata sudah dibunuh oleh BPN, SHM atas nama Annie Gretha Warow itu terbukti dihidupkan kembali melalui SHM 25952 tertanggal 21 Agustus 2014, untuk melahirkan SHGB 21970 tanggal 13 April 2015, dan SHGB 21970 tanggal 13 April 2016 di Kilometer 18 milik Tjoddo, yang sejak 2014 menjadi lahan tempat berdirinya bangunan Indogrosir.
Ini berarti, sedari awal, memang sudah ada rencana yang sangat sistematis untuk menggunakan sertifikat yang sudah mati tersebut, sebagai dokumen penyerta transaksi jual beli oleh Indogrosir dari keluarga Tjonra Karaeng Tolla. “Indogrosir itu dibangun di atas tanah yang salah. Seharusnya, bangunan Indogrosir itu didirikan di Kilometer 17 atau Kilometer 20, dan bukan di tanah milik saya di Kilometer 18,” tegas Dg Nai.
Nah, maukah Indogrosir berkaca atas fakta dari Dg Nai itu, dengan memindahkan bangunannya ke Kilometer 17 atau 20? ( ESV MBS)
Editor misran MBS