Bogor-mbs || Seorang perempuan paruh baya berinisial SR mengaku menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan mantan suami dan dua anak kandungnya. Namun, alih-alih mendapat perlindungan hukum, SR justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Bogor.
Peristiwa itu, kata SR, berawal pada 16 April 2025 di Terminal Cibinong, Kabupaten Bogor. Mantan suaminya, AS, bersama anak kandungnya, DS, tiba-tiba menganiaya dirinya. “Saya dipukul, ditendang, diinjak-injak sampai lebam di wajah, bahkan sempat pingsan,” ujarnya, Minggu (11/8/2025). Ia menuding kekerasan itu dilakukan untuk memaksa dirinya menyerahkan sertifikat hak milik (SHM) atas aset pribadi.14/08/25.
SR mengisahkan, setelah pingsan, ia dibawa pulang oleh seorang warga yang mengenal alamatnya. Namun, sekitar pukul dua dini hari, tiga orang yang mengaku anggota Polres Bogor mendatangi rumahnya. Tanpa menunjukkan surat perintah atau panggilan resmi, SR dibawa ke kantor polisi. “Saya langsung dimasukkan ke sel, alasannya takut kabur. Padahal saya korban,” kata dia.
Menurut SR, ia ditahan dua malam di Polres Bogor sebelum dipindahkan ke Rumah Tahanan Pondok Rajeg selama hampir dua bulan. Kepala Lapas, ujar SR, bahkan sempat heran atas status penahanannya. “Sampai saat saya mau keluar, baru ada anggota bilang minta maaf karena salah memenjarakan saya,” tutur SR.
SR mengaku telah membuat laporan balik atas dugaan KDRT dan perampasan barang, namun hingga kini tidak ada perkembangan. “Tidak pernah ada surat panggilan, penyelidikan, atau gelar perkara. Malam itu saya dijemput dan langsung dipenjara,” kata dia.
Praktisi hukum Antonius Badar Karwayu, SH, menilai penetapan tersangka terhadap seseorang harus melalui prosedur hukum yang ketat. “Pasal 1 angka 14 KUHAP jelas menyebut, tersangka adalah orang yang patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, minimal dua alat bukti,” ujarnya.
Ia merujuk Pasal 66 Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 yang mengatur bahwa penetapan tersangka harus didahului gelar perkara. “Kalau korban merasa penetapan tersangka cacat prosedur, ia berhak mengajukan praperadilan ke pengadilan negeri setempat,” kata Antonius.
Pasal 77 KUHAP memberi wewenang pengadilan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, maupun penetapan tersangka. Mahkamah Konstitusi juga pernah memperluas objek praperadilan, termasuk sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penangkapan.
Menurut Antonius, korban juga dapat menempuh jalur etik untuk memprotes perilaku penyidik, meskipun sanksinya biasanya hanya berupa teguran. “Penahanan tanpa alasan jelas adalah cacat prosedur dan bisa dimintakan ganti rugi lewat praperadilan,” ujarnya.
Red-sb