Tebo.mitramabes.com- Hafizan Romy Faisal Ketua Debalang Negeri Kabupaten Tebo, tidak setuju terhadap keputusan musyawarah yang dilaksanakan pada hari Minggu (13/11/24) di Rumah Dinas Bupati Tebo.
Romi mengatakan, “Saat itu Ketua LAMJ Kabupaten Tebo Datuk Zaharuddin ada orang yang datang ke kediamannya menyampaikan bahwa di undang PJ Bupati Varial. Adhi Putra untuk datang ke Rumah Dinas karena ada hal yang mau di musyawarahkan. Yang mana Datuk Zaharuddin tidak tau apa hal yang mau di musyawarahkan. Namun pada saat sampai di Rumah Dinas Bupati ternyata Forkopimda sudah lengkap dan tampak juga Agus Rubiyanto”,
Membaca dari berita acara yang ditandatangani oleh Forkopimda kami Debalang Negeri menilai ada upaya intervensi dari Forkopimda dalam upaya mencabut keputusan adat terhadap ARB yang telah dibuang dari Negeri Seentak Galah Serengkuh Dayung.
“Dalam berita acara yang dibuat tersebut berita acara kesalahpahaman antara LAMJ Kabupaten Tebo dengan ARB, padahal disini tidak ada kesalahpahaman, yang ada ARB di hukum dibuang dari negeri karena tidak patuh kepada Adat Melayu, bak seloko nak beradat dewek”, kata Romi.
“Seharusnya ARB dengan kemauannya sendiri dan kepala nunduk datang ke Lembaga Adat Melayu Jambi Kabupaten Tebo memohon maaf. Ini malah Bawaslu yang minta ke Forkopimda agar ARB dan LAMJ Kabupaten Tebo islah, bukan dari niat hati ARB”, ucap Romi dengan nada kesal.
Maka dari itu tidak ada alasan yang cukup kuat bagi LAM Tebo untuk memaafkan ARB dan menerima ARB kembali sebagai anak negeri ataupun mencabut putusan adat yang telah dijatuhkan sebelumnya.
Debalang Negeri menyoroti bahwa sikap dan perilaku ARB, baik sebelum maupun setelah putusan adat dijatuhkan, tidak menunjukkan itikad baik yang layak dari seseorang yang mengakui kesalahannya.
Sebagai tokoh besar yang pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Tebo selama dua periode, dan saat ini mencalonkan diri sebagai Bupati Tebo, ARB dinilai meremehkan peran dan keberadaan adat.
Hafizan menegaskan bahwa hingga saat ini, ARB belum pernah datang menemui orang adat, baik di rumah maupun kantor adat, meskipun dengan status sosialnya yang tinggi, hal tersebut seharusnya tidak membuat dirinya merasa terhina jika mendatangi orang adat.
Sebaliknya, ARB memilih untuk mendatangi rumah Bupati Tebo dan bertemu dengan Forkompinda, serta memanggil pengurus LAM ke sana, yang oleh DEBALANG dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap adat dan memperlihatkan sikap arogan, seperti istilah adat “keleso gedang tanduk nan runcing”.
Lebih lanjut, Hafizan menyebutkan bahwa ARB tampak membiarkan tim suksesnya menyerang dan merendahkan pengurus LAM serta putusannya secara terang-terangan dan tanpa henti. Sikap ini dinilai semakin menunjukkan bahwa ARB tidak menghormati keputusan adat yang telah diambil.
Oleh karena itu, Debalang menegaskan bahwa pemberian maaf kepada ARB hanya dapat diberikan sebatas sebagai manusia ciptaan Allah SWT, bukan secara adat.
Selain itu, Debalang secara tegas menolak pencabutan putusan adat terhadap ARB.
Dalam pandangan Hafizan, pemberian maaf kepada ARB tidak seharusnya melibatkan pencabutan putusan adat, apalagi mengingat sikap ARB yang dianggap tidak memperlihatkan kesadaran atau pertobatan yang layak.
“Disini kami sebagai Debalang Negeri berpesan kepada ARB, Minta Maaf Itu Kepala Nunduk, Bukan Pedang Terhunus”, tutup Romi, (SH).