
Singkawang, Kalimantan Barat -Mitramabes.coma
Proyek pembangunan jalan menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Jalan Wonosari, Pajintan, Kecamatan Singkawang Timur, yang menelan anggaran APBD-P sebesar Rp400 juta, kembali memantik perhatian publik. Meski baru rampung beberapa bulan lalu, jalan tersebut kini sudah menunjukkan kerusakan dini berupa pengelupasan aspal, retakan, serta penyusutan permukaan, yang mengindikasikan dugaan ketidaksesuaian pekerjaan dengan standar teknis konstruksi.
AWI: Tidak Ada Papan Proyek, Pekerja Tanpa APD, Pengawasan Lemah
Tim Monitoring Aliansi Wartawan Indonesia (AWI) Kota Singkawang mengungkap sederet temuan yang dianggap sebagai pelanggaran mendasar dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Dalam hasil pantauan lapangan, AWI menemukan bahwa:
* Tidak ada papan informasi proyek, melanggar UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Permen PUPR No. 14/2020 terkait transparansi penggunaan anggaran negara.
* Pekerja tidak menggunakan APD sebagaimana diwajibkan dalam ketentuan K3.
* Kualitas pekerjaan tidak sesuai spesifikasi, terbukti dari cepatnya kerusakan pasca-proyek selesai.
* Peran Konsultan Pengawas dipertanyakan, karena dugaan pembiaran terhadap pelanggaran yang seharusnya diawasi ketat.
AWI menegaskan bahwa kondisi tersebut bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, terutama mengenai:
* standar mutu pekerjaan,
* keselamatan tenaga kerja (Pasal 86),
* serta kewajiban pengawasan teknis yang harus dilakukan secara profesional.
> “Pekerja tidak memakai APD, papan proyek tidak dipasang, dan kerusakan muncul hanya dalam beberapa bulan. Ini menunjukkan lemahnya pengawasan. Pelanggaran seperti ini bukan sekadar administrasi, tapi bisa mengarah ke penyimpangan,” tegas Tim Monitoring AWI.
Konsultan Pengawas Disorot: Kelalaian Bisa Berujung Tanggung Jawab Hukum
Konsultan pengawas memiliki tanggung jawab hukum untuk memastikan:
* kualitas pekerjaan sesuai RAB,
* keselamatan kerja dipenuhi,
* serta seluruh informasi proyek ditampilkan secara transparan.
Pembiaran terhadap pelanggaran K3 maupun ketidaktertiban administrasi dapat dikategorikan sebagai kelalaian berat, dan dapat menyeret pihak pengawas pada jerat hukum, termasuk Pasal 55 KUHP tentang turut serta dan ketentuan UU Tipikor apabila terbukti menimbulkan kerugian negara.
Dinas teknis dan pihak pelaksana hingga kini memilih bungkam, meskipun upaya konfirmasi telah dilakukan oleh tim monitoring AWI.
masukkan script iklan disini
LEGARI: Ada Dugaan Penyimpangan, Kejati Kalbar Diminta Turun Tangan
Lembaga Anti Rasua Indonesia (LEGARI) ikut bersuara. Ketua LEGARI, Agoes Hidayat, menilai kondisi tersebut tidak bisa dianggap sebagai kesalahan teknis biasa.
> “Jalan baru selesai beberapa bulan sudah rusak, pekerja tanpa K3, papan proyek tidak ada, pengawas diam. Ini pola yang sering menjadi pintu masuk dugaan penyimpangan,” ujar Agoes.
Ia menilai terdapat indikasi:
* pelanggaran administrasi,
* pekerjaan tidak sesuai spesifikasi,
* dan potensi tindak pidana korupsi.
LEGARI mendesak Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat mengambil langkah cepat melakukan penyelidikan awal.
> “Kejati Kalbar harus bertindak. Jangan tunggu anggaran kembali digelontorkan untuk memperbaiki kerusakan yang seharusnya tidak terjadi. Jika ada penyimpangan, pihak terkait harus bertanggung jawab,” tegasnya.
Potensi Jerat Hukum
Jika nanti terbukti terjadi:
* pengurangan volume,
* penggunaan material tidak sesuai spesifikasi,
* mark-up, atau
* kelalaian pengawasan,
pihak terkait dapat dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, yang ancamannya:
* penjara hingga 20 tahun,
* denda maksimal Rp1 miliar,
* serta kemungkinan pencabutan izin, blacklist perusahaan, dan tuntutan ganti rugi.
LEGARI Siap Serahkan Bukti
Agoes menegaskan bahwa LEGARI sudah mengumpulkan sejumlah dokumen dan siap menyerahkannya kepada aparat penegak hukum.
> “Publik berhak tahu. Negara tidak boleh dirugikan. Jika proyek pemerintah sudah abaikan transparansi, K3 dan spesifikasi teknis, maka hukum harus bergerak,” tutupnya.
(Mitra Mabes)










