Purwakarta || Jabar Mitramabes.com Apa jadinya jika sebuah dinas pemerintah, melalui oknum-oknum tertentu, meminjam dana dari kontraktor dengan imbalan proyek? Jawabannya bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan tindakan koruptif yang terbungkus rapi dalam skema pinjaman.
Pinjaman yang dibalas dengan proyek bukanlah transaksi perdata biasa, melainkan bentuk suap yang diatur tegas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Praktik ini merusak tatanan pengadaan yang seharusnya transparan dan kompetitif.
Pinjam uang, balas dengan proyek. Ini bukan pinjaman, melainkan suap yang merusak sendi-sendi birokrasi. Praktik ijon proyek, yang sayangnya bukan lagi hal asing di beberapa dinas, telah menjadi kebiasaan klasik yang menggerogoti kepercayaan publik.
Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan bersama, justru menjadi komoditas untuk menutupi kepentingan segelintir pejabat dan kontraktor nakal. APBD diperalat, dan birokrasi berubah menjadi pasar gelap proyek.
Siapa yang memiliki “modal pinjaman”, dialah yang akan memanen proyek. Sementara penyedia jasa yang jujur dan tidak memiliki relasi hanya bisa gigit jari. Negara merugi, meskipun kerugian tersebut seringkali tidak kasat mata.
Praktik pinjam-meminjam antara dinas dan penyedia jasa bukanlah sekadar transaksi biasa. Ketika pinjaman tersebut dibalas dengan imbalan proyek, maka secara hukum tindakan tersebut masuk kategori korupsi.
Dalam perspektif UU Tipikor, pola ini jelas mengandung unsur suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 11, dan Pasal 12. Pemberian dalam bentuk uang, pinjaman, atau fasilitas yang kemudian “dibayar” dengan proyek pemerintah merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang sekaligus pelanggaran prinsip transparansi.
Alurnya sederhana: penyedia memberi pinjaman (dengan persentase tertentu dari nilai proyek), lalu pejabat memberi proyek. Praktik ini jelas menguntungkan pihak tertentu dan merugikan kepentingan publik. Proyek pemerintah tidak lagi didasarkan pada kompetisi sehat, melainkan pada “balas jasa”.
Istilah “pinjaman” hanyalah kedok untuk menutupi praktik suap. Ini adalah modus baru korupsi yang merusak integritas birokrasi dan mencederai keadilan dalam pengadaan barang/jasa.
Aparat penegak hukum tidak boleh menutup mata. Pinjaman dengan imbalan proyek harus dipandang sebagai modus baru korupsi, dan pelakunya harus diseret ke meja hijau. Korupsi tidak selalu datang dengan amplop coklat, kadang hadir dengan label “pinjaman baik-baik” yang ujungnya merampas uang rakyat.
Mari kita jaga Purwakarta dari praktik-praktik koruptif yang merugikan. Kebijaksanaan adalah kunci untuk membangun pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
*Agus M. Yasin*
_Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik di Purwakarta._
( Dwi A.H )