BANDA ACEH –Mbs.com – Dari sawit hingga pabrik minyak goreng, Tengku Rabo membayangkan masa depan eks kombatan GAM yang mandiri. PT KPA menjadi jalan nyata untuk kesejahteraan mereka, bukan sekadar janji politik.
Kata Anwar Daod alias Tengku Rabo, kombatan wilayah Perlak, dalam rilis pers, Rabu, 20 Agustus 2025, damai Aceh telah berlangsung lebih dari dua dekade, tetapi kenyataan di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak eks kombatan GAM telah meninggal dunia, meninggalkan anak-anak dan cucu mereka yang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Sementara itu, para elit tampak sibuk memperkaya diri, mengejar kekuasaan, dan meluncurkan program-program yang minim dampak nyata bagi masyarakat yang pernah terlibat konflik.
Dalam konteks ini, Tengku Rabo mengusulkan agar Mualem mendirikan PT KPA (Perseroan Terbatas Kebun Pejuang Aceh). Tujuan utamanya adalah memberikan lapangan kerja dan penghasilan tetap bagi eks kombatan GAM dan keluarganya. “Daripada membuat Dana Abadi yang hanya dibungakan, ujung-ujungnya eks GAM disuruh makan riba,” tegas Tengku Rabo dalam rilis pers tersebut. Ia menegaskan bahwa meskipun melalui bank syariah, jika tujuannya semata-mata membungakan uang, tetap haram secara syariat. “Kalau tidak percaya, tanyalah kepada ulama, termasuk Abu Paya Pasie, yang baru saja dikukuhkan Mualem sebagai Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman,” tambahnya.
Tengku Rabo juga menyoroti pengelolaan Dana Abadi Kombatan GAM senilai Rp 1,5 triliun, di mana Rp 650 miliar saja dianggap amburadul. “Kalau pengelolaan saja seperti ini, jangan harap generasi eks kombatan bisa sejahtera,” ujarnya. Ia menekankan bahwa PT KPA atau skema serupa harus dikelola secara profesional, transparan, dan bebas dari intervensi politik atau kepentingan pribadi.
Lebih lanjut, Tengku menegaskan bahwa PT KPA harus berdiri sendiri, bukan dikelola di bawah pemerintah Aceh maupun PEMDA. “Bila perlu kontrak manajemen profesional dibuat, buat aturan yang tidak bisa diganggu siapapun,” ujarnya. Prinsip ini dimaksudkan agar PT KPA menjadi institusi ekonomi yang mandiri, profesional, dan berkelanjutan, tanpa campur tangan politik atau kepentingan elit tertentu.
Strategi konkret yang diajukan Tengku mencakup lobi ke pemerintah pusat agar diberikan lokasi HGU minimal seluas 10.000 hektar. Di lokasi tersebut, sawit dan peternakan dapat dikembangkan, disertai pembangunan PKS (Pabrik Kelapa Sawit) dan pabrik minyak goreng secara terpadu. Dengan pendekatan ini, PT KPA diharapkan menjadi motor ekonomi mandiri, memberikan lapangan kerja, dan sumber penghasilan stabil bagi masyarakat eks kombatan.
Tengku menegaskan bahwa dua dekade damai tidak boleh hanya menjadi simbol politik. “Dua puluh tahun damai harus dirasakan manfaatnya oleh generasi yang hidup di sisa-sisa konflik. Jangan sampai anak-cucu eks kombatan tetap terjebak kemiskinan, sementara elit terus bermain dalam politik dan proyek yang jauh dari kepentingan rakyat,” ujarnya.
PT KPA bukan sekadar proyek ekonomi, tetapi juga bentuk tanggung jawab moral dan sosial. Dengan pengelolaan profesional dan visi jelas, eks kombatan dan keluarganya bisa memiliki masa depan layak, mandiri, dan berkelanjutan. Keberhasilan PT KPA akan menjadi bukti bahwa Aceh pasca-konflik bisa menghadirkan pembangunan inklusif, yang menyentuh kehidupan rakyat, bukan sekadar menguntungkan segelintir elit.
PT KPA adalah jawaban konkret untuk mengubah potensi sumber daya Aceh menjadi kesejahteraan bagi mereka yang pernah berjuang demi perdamaian—daripada makan riba. (R)