Mitra mabes.com. Bengkulu utara.-Drama perjalanan dinas DPRD Kabupaten Bengkulu Utara seolah tak ada habisnya. Setelah publik sebelumnya digegerkan oleh sederet kasus dugaan SPPD fiktif, kini mencuat lagi kabar tak kalah mengejutkan: bill hotel diduga bodong dengan nilai fantastis mencapai Rp2,975 juta per malam dalam lawatan ke Provinsi Sumatera Barat.
Nominal nyaris Rp3 juta per malam itu tertera dalam dokumen resmi pertanggungjawaban anggaran. Padahal, informasi di lapangan menunjukkan tarif hotel di lokasi tersebut tidak pernah mendekati angka setinggi itu. Masyarakat pun kian curiga, jangan-jangan kwitansi hotel ini hanyalah akrobat administrasi untuk melancarkan pencairan uang perjalanan dinas.
Keanehan tidak berhenti di situ. Dalam perjalanan dinas tersebut, pendamping anggota DPRD disebut bukan berasal dari kalangan ASN, melainkan tenaga outsourcing.
“Kalau benar ada laporan hotel Rp2,9 juta per malam tapi faktanya tidak pernah ditempati, itu sama saja dengan merampok uang rakyat. Ini bukan sekadar kelalaian administrasi, tapi sudah masuk dugaan kejahatan anggaran,” tegas Burandam, Aktivis provinsi Bengkulu, Senin (18/8/2025).
Menurut Burandam, keterlibatan tenaga outsourcing dalam kegiatan resmi dewan patut dipertanyakan. “Secara aturan, jelas tidak dibenarkan. Outsourcing bukan pejabat negara, tapi kok bisa dilibatkan untuk kegiatan perjalanan dinas, Ini menambah kuat dugaan ada rekayasa administrasi,” ujarnya.
Fakta mencurigakan ini mengingatkan publik pada pola lama dugaan SPPD fiktif yang sempat menyeret nama Sekretariat DPRD kabupaten Bengkulu Utara, beberapa waktu lalu. Saat itu, terungkap praktik pemalsuan dokumen perjalanan dinas yang digunakan sebagai alat pencairan anggaran miliaran rupiah.
Kini, dengan mencuatnya dugaan bill hotel bodong, publik menilai skenario lama itu kembali dimainkan dengan kemasan berbeda. Mark up biaya, kwitansi tidak jelas, dan pendamping yang tidak sesuai aturan hanyalah serpihan dari modus sistematis yang selama ini disebut-sebut sudah mendarah daging dalam pengelolaan perjalanan dinas DPRD Bengkulu Utara.
Burandam menegaskan, pihak penegak hukumbaik Kejaksaan Negeri Bengkulu Utara maupun Inspektorat Daerah—harus segera turun tangan.
“Jangan lagi masyarakat hanya disuguhi kasus setengah hati. Kalau benar ada manipulasi dokumen, buka saja semua yang terlibat. Jangan cuma staf atau tenaga teknis jadi tumbal, sementara aktor intelektualnya bebas berkeliaran,” kata Burandam.
Kami menunggu langkah nyata aparat penegak hukum. Apakah dugaan bill hotel Rp2,9 juta ini akan kembali berakhir seperti kasus SPPD fiktif sebelumnya,dua orang jadi korban, sementara konseptor lolos, atau justru jadi momentum untuk benar-benar menata ulang integritas perjalanan dinas DPRD Bengkulu Utara. (Red)