Kepulauan Meranti, Riau Mitramabes – Keberadaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang kembali menjadi sorotan. Dr. Elviriadi, S.Pi., M.Si., seorang akademisi dan pemerhati lingkungan hidup, mengungkapkan bahwa aktivitas perusahaan tersebut harus di selaraskan dengan Undang-Undang No 1 tahun 2014 Tentang pengembangan wilayah pesisir dan pulau kecil, mengingat Pulau Padang merupakan pulau kecil dan terluar yang seharusnya mendapatkan perlindungan khusus.
Dalam keterangannya, Minggu (13/07/25), Dr. Elviriadi menegaskan bahwa hingga kini belum ada identifikasi menyeluruh yang terbuka kepada publik atas luasan areal konsesi RAPP maupun korporasi lainnya di Kabupaten Meranti yang paralel dengan kondisi eksisting di lapangan. “Publik, khususnya masyarakat Meranti, berhak mengetahui luas konsesi itu, terutama yang lahannya bersengketa. Karena di lapangan kadang sudah ada kebun sagu, kebun getah, dapur warga, dan aktivitas lainnya yang bisa tumpang tindih,” ujarnya.
Ia menyebutkan bahwa konflik horizontal kerap terjadi di tengah masyarakat akibat ketidaksesuaian data di atas kertas dengan kenyataan di lapangan. Salah satu contoh ekstrem, kata Elviriadi, adalah aksi nekat warga yang menjahit mulut sebagai bentuk protes terhadap situasi yang tak kunjung ditindaklanjuti pemerintah, beberapa waktu lalu.
Menurut Elviriadi, salah satu kelemahan utama adalah lemahnya pengawasan, verifikasi independen dan tim observasi kementerian Kehutanan pada awal usulan kawasan dibuka. Lazimnya, yang kami ketahui, mengandalkan citra satelit dan dokumen yang diajukan oleh perusahaan. “Tak ada verifikasi langsung ke lapangan, ketika awal kawasan hutan di buka. Kementrian sebaiknya hati hati, percaya begitu saja.
Tak hanya soal konsesi, Elvariadi juga menyoroti sistem tata kelola air (water management) RAPP di lahan gambut Pulau Padang. Menurutnya, sistem buka-tutup kanal yang dilakukan perusahaan harus memperhatikan kaidah konservasi gambut, sehingga tidak berdampak pada warga sekitarnya. Salah kelola Kanal, kadang menyebabkan kebun warga terendam banjir dan tanaman mati.
Ia mengingatkan bahwa kerusakan ekologis akibat praktik buruk di lahan gambut tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengancam mata pencaharian masyarakat lokal. “Jika ini terus dibiarkan, bukan hanya lahan yang rusak, tapi kehidupan sosial ekonomi masyarakat pun akan ikut hancur,” tambahnya.
Dr. Elvuriadi mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk turun langsung melakukan verifikasi lapangan dan mempertemukan pihak RAPP dengan masyarakat di Pulau Padang. Ia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pemantauan dan pengambilan kebijakan agar konflik dan kerusakan tidak semakin meluas.
Red