Jambi mbs, 22 Mei 2025 – Sebuah pelanggaran serius atas hak masyarakat adat kembali mencuat. Surat resmi bernomor B/214/V/Res.1.2/2025/Reskrim tertanggal 20 Mei 2025 yang seharusnya menjadi pedoman pelaksanaan identifikasi lahan seluas 236 hektare justru diabaikan secara terang-terangan. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa proses identifikasi wajib menghadirkan Alib, tokoh utama Suku Anak Dalam (SAD) selaku pemilik sah lahan garapan, untuk menunjukkan titik batas dan petunjuk lokasi. Namun ironisnya, pelaksanaan di lapangan justru tidak melibatkan Alib, ahli warisnya, maupun Mappangara HK selaku Ketua LCKI Provinsi Jambi dan kuasa pendamping yang sah!
“Kami kecewa dan menilai proses ini cacat hukum. Bagaimana mungkin sebuah identifikasi yang menentukan hak hidup dan sejarah masyarakat adat dilakukan tanpa pihak yang paling berhak? Ini bukan hanya pengabaian, ini bentuk perampasan hak yang brutal!” tegas Mappangara HK.
Ia juga menyatakan bahwa lahan 236 hektare yang diperebutkan jelas-jelas berada di luar HGU PT BSU yang totalnya hanya 20.000 hektare. Namun, dalam proses identifikasi, lahan tersebut justru diklaim masuk ke dalam wilayah HGU hasil perpanjangan milik perusahaan tersebut. Padahal, berdasarkan ketentuan hukum agraria, HGU tidak bisa diterbitkan atau diperpanjang apabila lahan tersebut masih dalam sengketa!
“Ini bentuk pembiaran sistematis terhadap konflik yang sudah bertahun-tahun tak kunjung selesai. Jika pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) tidak menunjukkan itikad baik dan transparansi, kami khawatir konflik ini akan memicu kemarahan masyarakat adat dan berpotensi menimbulkan tindakan anarkis!” lanjutnya dengan nada keras.
Pada tanggal 22 Mei 2025 pukul 13.00 WIB, Ketua LCKI Provinsi Jambi bersama tim mendampingi penyidik Polda Jambi dan tim dari BPN Provinsi Jambi turun langsung ke lokasi konflik di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Lahan yang telah lama disengketakan oleh Alib cs dari Suku Anak Dalam melawan PT BSU tersebut sampai saat ini belum ada penyelesaian nyata, meski telah berkali-kali dilaporkan secara resmi oleh LCKI.
“Kami tidak akan diam. Proses hukum harus berjalan sesuai aturan. Jangan ada lagi permainan kotor atas nama hukum yang mengorbankan masyarakat adat! Ini tanah mereka, ini hidup mereka!” tutup Mappangara penuh amarah.
Konflik ini adalah tamparan keras bagi supremasi hukum dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Jika negara masih memilih untuk tutup mata dan berpihak pada pemodal besar, maka keretakan sosial dan keamanan di daerah hanya tinggal menunggu waktu. (Seto-WJI)